Harian Bisnis Indonesia     18 Aug 2023

Target Pajak Penuh Onak

Sekilas, postur fiskal 2024 menempatkan target penerimaan pajak pada jalur alamiah dengan tingkat pertumbuhan sejalan dengan laju ekonomi serta inflasi.

Namun, sejatinya angka sasaran pada warsa mendatang cukup ambisius mengingat masih tingginya ketidakpastian ekonomi.

Berdasarkan Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, target penerimaan pajak pada warsa depan senilai Rp1.986,9 triliun.

Angka sasaran tersebut naik sebesar 9,27% dibandingkan dengan outlook penerimaan pajak pada tahun ini yang diperkirakan senilai Rp1.818,2 triliun.

Sepintas memang angka pertumbuhan itu relatif berada pada teritorial alamiah. Sebab, becermin pada target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% dan inflasi 2,8%, maka pertumbuhan alamiah setoran pajak sekitar 8%, tidak jauh beda dibandingkan dengan target pemerintah.

Akan tetapi, apabila berpijak pada proyeksi tahun ini, target pada tahun depan terbilang cukup ambisius. Musababnya, pemerintah mengestimasi setoran pajak pada 2023 senilai Rp1.818,2 triliun, hanya naik 5,9% dibandingkan dengan realisasi tahun lalu senilai Rp1.716,8 triliun.

Dengan demikian, kans untuk menggapai angka sasaran pertumbuhan itu cukup menantang. Terlebih, Indonesia tak lagi mendapatkan durian runtuh dari harga komoditas sumber daya alam (SDA) sebagaimana dua tahun terakhir.

Pemerhati perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar tak memungkiri target penerimaan yang dibidik oleh pemangku kebijakan pada tahun depan masih dibayangi sederet tantangan.

Tantangan itu di antaranya pelemahan ekonomi China yang akan berdampak terhadap ekonomi Indonesia terutama dalam hal perdagangan internasional. Kondisi ini pun akan berdampak pada penerimaan pajak secara tak langsung.

Fajry memandang target tersebut bisa terealisasi sepanjang pemerintah mampu menjaga tren stabilitas sebagaimana terjadi sebelum pandemi Covid-19.

“Target penerimaan pajak 2024 masih masuk akal, dengan pertimbangan rata-rata pertumbuhan sebelum pandemi [2014—2019] Rp94 triliun dan perbaikan pascaUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan serta extra effort,” jelasnya, Kamis (17/8).

Tantangan lain menurut Fajry adalah rekam jejak kontestasi politik di Indonesia yang kurang memberikan dukungan penuh terhadap optimalisasi penerimaan pajak.

Menurutnya, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 memang bakal mengakselerasi laju konsumsi di dalam negeri, baik konsumsi rumah tangga maupun lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga (LNPRT).

Namun, peningkatan konsumsi tersebut tidak selalu linier dengan penerimaan negara, terutama dari pajak pertambahan nilai (PPN) yang memotret aktivitas konsumsi barang dan jasa di dalam negeri.

“Data historis tidak mendukung adanya peningkatan kinerja penerimaan pajak yang konsisten pada tahun pemilu,” ujarnya.

Sementara itu, amat tidak mudah bagi pemerintah untuk mengulang kisah manis pada 2021—2022, ketika penerimaan pajak berhasil menembus target. Selain normalisasi komoditas, ada beberapa aral yang mengganjal langkah otoritas fiskal.

Pertama, iklim invstasi yang harus diakui akan sangat terpengaruh oleh dinamika politik dalam negeri. Investor pun khawatir adanya perubahan kebijakan oleh pemerintahan baru pada tahun depan.

Kedua, konsistensi penjagaan daya beli masyarakat. Sejak pandemi Covid-19, belanja pemerintah memang jorjoran untuk memproteksi daya beli masyarakat. Pun dengan tahun ini.

Ketiga, faktor global yang sedikit banyak memengaruhi ekonomi nasional. Kondisi geopolitik Rusia-Ukraina, Amerika Serikat-China, hingga kebijakan bank sentral yang masih ketat pun membayangi pemulihan ekonomi.

Terlebih, pemerintah pun menyadari aspek ketidakpastian ekonomi global pada tahun depan masih haram untuk diremehkan.

TERLAMPAU TINGGI

Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah pun perlu berhati-hati dalam menetapkan target penerimaan. Musababnya, ketika target yang disasar terlampau tinggi, maka akan berisiko mengancam pertumbuhan ekonomi.

Misalnya, apabila pemerintah hanya menyasar pelaku ekonomi di kelas menengah dan industri pengolahan. Ini justru akan menimbulkan kesan ‘berburu di kebun binatang’, sehingga otoritas fiskal perlu lebih kreatif.

“Misalnya dengan menyasar pajak karbon, perluasan barang kena cukai, hingga mengenalkan pajak progresif untuk kekayaan,” ujarnya.

Adapun, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara tak memungkiri bahwa pencapaian target penerimaan pajak pada tahun depan amat bergantung pada gerak roda ekonomi nasional.

“Target penerimaan pajak yang ditaruh di dalam RAPBN 2024 itu tentunya memperhatikan dan memperhitungkan bagaimana gerak ekonomi kita ke depan,” katanya, Rabu (16/8).

Suahasil menambahkan, untuk mencapai target tersebut pemerintah akan melakukan sejumlah langkah optimalisasi penerimaan dan melakukan efisiensi dalam administrasi perpajakan.

Dalam rangka meningkatkan rasio perpajakan, pemerintah mengimplementasikan nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP).

Selain itu, pemerintah juga telah menjalankan core tax system atau sistem inti perpajakan, serta memperbaiki tata kelola dan administrasi perpajakan.


Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024