‘Seribu ragam’ fasilitas yang diberikan negara untuk sektor konsumsi nyatanya menjadi bumerang apabila dipandang dari kacamata fiskal negara. Kebijakan ramah itu menciptakan keterbatasan bagi fiskus untuk mengoptimalisasi pungutan pajak.
Terbatasnya daya pungut pajak itu tecermin dari value added tax (VAT) gross collection ratio yang pada paruh pertama tahun ini hanya 59,31%.
Angka tersebut dihitung dengan berpijak pada data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat nominal konsumsi rumah tangga pada semester pertama tahun ini senilai Rp5.468,1 triliun, sementara realisasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hanya Rp356,8 triliun.
Sementara itu, dengan tarif sebesar 11%, sejatinya potensi PPN alias pajak atas konsumsi barang dan jasa di Tanah Air mencapai Rp601,49 triliun. Artinya, pada periode tersebut fiskus hanya mampu menarik 59,31% dari total potensi pajak.
Dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, kinerja pada Januari—Juni tahun ini relatif stagnan. Dengan mengacu pada tarif PPN sebesar 11% yang berlaku sepanjang semester I/2022, VAT gross collection ratio tercatat 57,11%.
Akan tetapi, apabila menggunakan asumsi tarif PPN yang berlaku pada paruh pertama tahun lalu sebesar 10%, maka VAT gross collection ratio di angka 62,83%.
Adanya dua asumsi itu amat krusial, mengingat pada semester pertama tahun lalu pemerintah melakukan perubahan tarif PPN, yakni dari 10% yang masih berlaku pada Januari—Maret, dan 11% yang efektif per 1 April 2022.
Di sisi lain, jika membandingkan kinerja pada kuartal kedua tahun ini dan tahun lalu, performa sepanjang April—Juni 2023 amat buruk.
Bisnis menghitung, VAT gross collection ratio pada kuartal II/2023 hanya 55,81%, sedangkan pada periode yang sama pada tahun lalu mencapai 61,29%.
Dari sekian banyak perbandingan, kinerja pada kuartal kedua yang relatif adil karena pada periode tersebut telah menggunakan tarif PPN sebesar 11%, baik pada tahun lalu maupun tahun ini.
Makin rendah VAT gross collection ratio, maka makin kurang tokcer pula pungutan yang dilakukan oleh petugas pajak dalam mengumpulkan pundi-pundi penerimaan PPN.
Memang, pemangku kebijakan bisa berdalih bahwa salah satu penyebab terbatasnya daya pungut itu lantaran banyaknya fasilitas pembebasan dalam rezim PPN di Tanah Air.
Akan tetapi, bukan berarti pemerintah tidak memiliki potensi yang layak digali. Apalagi, fasilitas pembebasan, pengecualian, PPN tidak dipungut, atau istilah lainnya apapun hanya menyasar sektor strategis. Di antaranya bahan pokok, atau jasa yang menjadi kebutuhan mendasar masyarakat seperti pendidikan.
Pemerintah pun sejatinya memiliki banyak cangkul yang bisa digunakan untuk menggali potensi penerimaan dari aktivitas konsumsi barang dan jasa masyarakat.
Misalnya, dengan memperbanyak perusahaan penyedia perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) lokal, atau mengevaluasi kebijakan obral insentif untuk PPN.
Terlebih, World Bank dalam laporan berjudul Pathways Towards Economic Security: Indonesia Poverty Assessment yang dipublikasikan belum lama ini, mengkritisi mekanisme pemajakan atas barang dan jasa di Indonesia.
Menurut lembaga tersebut, Indonesia perlu mengevaluasi fasilitas pembebasan PPN, karena efektivitasnya yang terbatas sejalan dengan banyaknya barang dan jasa yang mendapatkan kemudahan.
Di sisi lain, perluasan objek PPN yang ada di UU No. 7/2021 tentang Harminisasi Peraturan Perpajakan (HPP) belum optimal karena sebagian objek PPN tersebut mendapatkan fasilitas dibebaskan.
Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono memandang, selain memotret kinerja fiskus, kinerja VAT gross collection ratio juga melukiskan konsumsi masyarakat. Persoalannya, sejak tahun lalu konsumsi tertekan lantaran tertatihnya daya beli akibat tekanan inflasi.
“Inflasi memengaruhi daya beli sehingga transaksi perdagangan barang dan jasa sebagai output yang menjadi objek PPN berkurang,” katanya kepada Bisnis, Senin (14/8).
TRANSAKSI DIGITAL
Sementara itu, transaksi perdagangan elektronik alias dagang-el seolah tak surut. Bank Indonesia (BI) mencatat nilai transaksi dagang-el pada 2022 mencapai Rp476,3 triliun, naik 18,8% dibandingkan dengan warsa sebelumnya yang senilai Rp401 triliun.
Dalam konteks inilah kemudian fiskus perlu agresif menyisir seluruh transaksi sehingga meningkatkan penerimaan PPN. Caranya adalah dengan menunjuk perusahaan PMSE sebagai pemungut dan penyetor PPN.
Pemerintah pun terus meningkatkan jumlah pemungut PPN dari penyelenggara dagang-el lokal. Dengan demikian, objek PPN yang tidak bisa dipungut secara normal oleh merchant yang terlibat transaksi dagang-el dapat teratasi.
Tak hanya itu, perlakuan PPN atas pengadaan barang dan jasa pemerintah melalui dagang-el juga sudah diatur. Artinya, pemungut PPN tidak lagi pemerintah, melainkan penyelenggara dagang-el.
Sayangnya, belum seluruh perusahaan yang ditunjuk itu menjalankan tugas dari negara. Data Ditjen Pajak Kementerian Keuangan per 8 Agustus 2023, dari total 158 pelaku usaha PMSE, yang telah telah memungut dan menyetor sebanyak 139 perusahaan.
Direktur Program Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti, menyarankan kepada pemerintah untuk memaksimalkan peluang bangkitnya ekonomi yang ditandai dengan level inflasi di posisi normal.
Kondisi ini diyakini menguatkan daya beli masyarakat dan mendukung kinerja fiskus dalam mengumpulkan penerimaan negara. “Apalagi masuk tahun politik, banyak pengeluaran untuk konsumsi yang merebut hati pemilih,” katanya.
Dalam kaitan optimalisasi PPN, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astusi, mengatakan pemerintah akan meningkatkan pengawasan pajak atas ekonomi digital seperti yang sudah diterapkan yakni konsistensi penunjukan pemungut PPN PMSE.
“Selain meningkatkan penerimaan juga dapat memperkuat aspek keadilan level playing field,” katanya.
Di luar itu, pemerintah masih memiliki senjata simpanan untuk menaikkan setoran PPN, yakni mengerek tarif dari 11% menjadi 12% yang bisa dieksekusi paling lambat pada 1 Januari 2025.
Kenaikan tarif memang dipastikan mengatrol penerimaan negara lebih tinggi. Akan tetapi, potret kinerja fiskus tidak melulu soal pencapaian target. Tak kalah penting adalah kemampuan negara dalam memungut potensi pajak. Selama daya pungut rendah, strategi tarif pun tak akan efektif untuk memperbaiki kinerja pemerintah, yang dalam kaitan ini adalah VAT gross collection ratio.
SFc Customs Newsletter February 2024 Follow link below to read more and download the complete article bit.ly/sfcustomsjan24 Visit our website www.sfconsulting.co.id ...
SF Consulting Tax Newsletter January 2024 Follow link below to read more and download the complete article bit.ly/sftaxjan24 Visit our website www.sfconsulting.co.id ...
Ditjen Pajak (DJP) menjelaskan soal viralnya potongan pajak THR yang lebih besar akibat penerapan PPh 21 skema TER. Bisnis.com ...
Jumlah wajib pajak yang telah melaporkan SPT Tahunan tersebut meningkat sebesar 11,36% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada ...
(Jakarta) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah mencapai kemajuan signifikan dalam pemadanan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor ...
(Jakarta) Dirjen Bea Cukai, Askolani menjelaskan aturan terbaru mengenai barang bawaan penumpang yang menuai kritik. Aturan yang tercantum dalam ...
(Jakarta) Kinerja perpajakan DKI Jakarta telah mencapai angka signifikan sebesar Rp 179,85 Triliun hingga akhir Februari 2024. Di tengah ...
(Medan) Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan minyak kelapa sawit dan turunannya, mendapat izin fasilitas Tempat Penimbunan Berikat ...
Mata Uang | Nilai (Rp.) |
---|---|
EUR | 17068.99 |
USD | 15710 |
GBP | 19949.11 |
AUD | 10293.61 |
SGD | 11699.88 |
* Rupiah |
Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024
NILAI KURS SEBAGAI DASAR PELUNASAN BEA MASUK, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ...
PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 19 TAHUN 2023 TENTANG ...
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PEMBERIAN TUNJANGAN HARI RAYA DAN GAJI KETIGA ...
NILAI KURS SEBAGAI DASAR PELUNASAN BEA MASUK, PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ...
JADWAL LAYANAN PAJAK DI LUAR KANTOR (LDK) ATAU POJOK PAJAK ...