Harian Bisnis Indonesia     17 Oct 2022

Awan Mendung Investasi Langsung

Ketidakpastian ekonomi global yang meningkat pada paruh kedua tahun ini, menjadi sentimen negatif yang diproyeksi menjegal pencapaian target penanaman investasi langsung.

Aneka risiko itu antara lain krisis energi dan pangan yang memicu lonjakan indeks harga konsumen (IHK) di hampir seluruh belahan bumi. Kenaikan inflasi itu kemudian membawa konsekuensi berupa kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral. Dalam konteks ini, agresivitas The Fed, Bank Sentral Amerika Serikat (AS), menjadi engsel utama.

Kemudian, perlambatan ekonomi China yang memburamkan teropong penanaman modal di Tanah Air. Maklum, Negeri Panda adalah sumber kedua investasi di dalam negeri setelah Singapura.

Kondisi di dalam negeri pun tak jauh lebih baik. Gelombang inflasi yang menghantam daya beli turut menekan konsumsi rumah tangga.

Konsumsi yang lesu pun memiliki impak yang besar terhadap iklim investasi. Sepanjang daya beli lemah, maka output manufaktur pun bakal tereduksi.

Kondisi itu lantas mendorong pelaku usaha untuk wait and see, baik dalam kaitan penanaman modal baru ataupun ekspansi bisnis yang dikorelasikan dengan penambahan investasi.

“Sebagian investor akan cenderung wait and see,” kata Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani, kepada Bisnis, Minggu (16/10).

Sejatinya, kinerja penanaman modal hingga paruh pertama tahun ini tidak buruk-buruk amat. Berdasarkan data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), total investasi pada semester I/2022 senilai Rp584,6 triliun.

Capaian itu setara dengan 48,7% dari total target penanaman modal sepanjang tahun ini yang ditetapkan mencapai Rp1.200 triliun.

Kalangan pebisnis pun memandang, tren investasi pada dua kuartal pertama tahun ini sejatinya cukup positif.

Sayangnya, kondisi perekonomian global sedang menghadapi turbulensi pascapandemi Covid-19, dan bahkan banyak negara berada di tepian resesi. Kondisi inilah yang melandasi penyesuaian perencanaan investasi asing langsung.

Alhasil, prospek penanaman modal asing (PMA) pun sedikit redup. Terlebih, foreign direct investment (FDI) menyumbang lebih dari 50% dalam struktur penanaman modal nasional.

Tak hanya penanaman modal asing (PMA), penanaman modal dalam negeri pun (PMDN) terimbas oleh dinamika perekonomian dunia yang belakangan sangat tidak bersahabat.

Kinerja yang cukup ciamik pada paruh pertama tahun ini terkaburkan oleh kenaikan suku bunga acuan oleh The Fed yang melemahkan nilai tukar rupiah.

“Target investasi Rp1.200 triliun akan berat tercapai. Guncangan ekonomi global memberikan sentimen negarif terhadap target investasi di Indonesia,” ujar Ajib.

Dari kacamata pebisnis, faktor eksternal bukan satu-satunya fondasi yang memijakkan kaki pelaku usaha pada ‘lantai wait and see’. Lebih dari itu, faktor internal pun tak kalah dominan.

Ada sederet sengkarut investasi yang masih belum mampu terurai. Mulai dari perizinan berusaha, aturan yang masih tumpang tindih antarlembaga, hingga ketidakpastian stimulus fiskal, terutama insentif tax holiday.

Indonesia memang telah melakukan gebrakan kemudahan berusaha melalui implementasi UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Namun faktanya, implementasi regulasi sapu jagat itu tak berjalan mulus.

Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia bahkan menyebut segelintir ‘pejabat nakal’ itu menganggap Omnibus Law Cipta Kerja sebagai penghambat untuk sampingan karena seluruh kendali, pengawasan, hingga eksekusi perizinan terpantau oleh pemerintah pusat.

“Masih ada oknum yang belum ikhlas menjalankan UU Cipta Kerja dengan baik,” ujarnya.

Adapun, insentif fiskal yang selama ini menjadi pemanis utama atau iming-iming untuk menarik investasi langsung pun penuh dengan ketidakpastian.

Hingga detik ini, pemerintah menyediakan beragam fasilitas fiskal untuk merangsang gairah investasi, yakni tax holiday, tax allowance, dan super tax deduction.

Dari ketiga insentif pajak utama itu, tax holiday dan tax allowance menjadi yang paling banyak diajukan oleh pemodal. Persoalannya, komitmen pelaku usaha penerima insentif itu amat rendah.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang diperoleh Bisnis, rencana investasi oleh investor penerima tax holiday selama 2018—2022 mencapai Rp1.501 triliun.

Akan tetapi, hingga Juni lalu realisasi penanaman modal hanya di angka Rp91 triliun. Artinya, terdapat Rp1.410 triliun utang investasi oleh penerima insentif tax holiday.

Persoalan selanjutnya ada pada konsensus global Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Pilar 2: Global Anti Base Erosion perihal global minimum tax.

Pilar 2 mengamanatkan pengenaan tarif pajak minimum global untuk korporasi sebesar 15%. Tarif itu dikenakan kepada perusahaan dengan pendapatan di atas 750 juta euro.

Sejalan dengan skema ini, otomatis perusahaan jumbo yang melakukan perencanaan pajak secara agresif atau aggressive tax planning melalui penempatan kantor pusat di negara suaka pajak, tidak dapat mengelak dari kewajiban perpajakannya.

Selain memberikan ambang batas minimum 15% tersebut, perusahaan–perusahaan yang menghasilkan lebih dari 10% keuntungan dari penjualan produk atau layanan di negara lain harus membayarkan pajak kepada negara tempat beroperasi dan juga negara asal.

Sejalan dengan itu, pemerintah wajib melakukan penyesuian mengenai tax holiday dalam rangka mengamankan potensi penerimaan. Sebab apabila Indonesia tetap memberikan fasilitas tersebut atau menetapkan tarif pajak korporasi di bawah 15%, maka pemerintah kehilangan potensi penerimaan dari perusahaan.

Hilangnya potensi penerimaan itu disebabkan oleh ketentuan di dalam Pilar 2 yang memberikan kewenangan kepada negara domisili atau negara asal korporasi untuk memungut pajak, jika negara pasar menetapkan tarif di bawah 15%.

Otoritas fiskal pun acap kali menegaskan akan mematuhi konsensus tersebut sembari mempertimbangkan kebijakan terkini.

Di sisi lain, pemangku kebijakan pun tak kehilangan akal dengan memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah (pemda) untuk memberikan insentif kemudahan berusaha. Tentunya dalam koridor pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).

Amanat itu tertuang di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 84/2022 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2023.

Permasalahannya, ruang fiskal masing-masing daerah berbeda sehingga tidak seluruh pemda memiliki keleluasaan untuk memberikan insentif kepada pelaku usaha.

“Tantangannya ada pada itu, karena kapasitas fiskal tidak sama,” kata Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman.

Dia berpendapat, kebijakan insentif PDRD tidak disamaratakan dengan meminimalisasi adanya guncangan fiskal di tingkat daerah.

Secara sektoral, dewasa ini hampir tidak ada lini bisnis yang mampu bertahan sehingga menyempitkan gerak pemerintah untuk bermanuver guna mengatrol realisasi investasi.

Industri pengolahan misalnya, yang sempat tangguh kini mulai gontai pembatasan sosial ketat di China. Batu bara memang masih menjadi primadona investasi.

Akan tetapi sifat komoditas ini hanya temporer. Ketika krisis energi di zona eropa mereda permintaan batu bara pun berpotensi menurun.

“Game changer investasi akan bergantung dari realisasi harga beberapa komoditas,” kata Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira.

Jika ditelusuri, target investasi pada tahun ini memang tidak masuk akal, yakni melesat hingga 33,15% dibandingkan dengan realisasi pada tahun lalu yang senilai Rp901,2 triliun. Apalagi, secara historis rata-rata pertumbuhan investasi tak pernah mencapai 15%.

Idealnya, target memang selalu terukur. Sepanjang tak ada terobosan maksimal dan diperparah dengan kondisi global yang menantang, teramat sulit untuk menggapai angka sasaran pada pengujung tahun ini. (Maria Elena)


Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024