Harian Bisnis Indonesia     26 Sep 2022

Dilema Insentif Dunia Usaha

Kalangan pelaku usaha tengah waswas lantaran ekspansi bisnis makin menantang pascanormalisasi kebijakan fiskal dan moneter yang ditempuh pemerintah dan Bank Indonesia (BI).

Kenaikan suku bunga acuan sebesar 50 basis points (bps) akan membatasi geliat bisnis dalam berekspansi, seiring dengan prospek kenaikan suku bunga kredit.

Pada saat bersamaan, ragam insentif fiskal yang diberikan pemerintah kepada pelaku usaha juga bakal berkurang pada 2023 lantaran konsolidasi fiskal. Ke depan, Insentif hanya akan diberikan kepada sektor usaha yang berdampak besar bagi perekonomian.

Pengetatan itu dilakukan setelah selama 3 tahun terakhir pemerintah banyak mengobral insentif kepada dunia usaha dalam rangka membangkitkan gairah bisnis yang sempat lesu lantaran diterpa pandemi Covid-19.

Merespons hal itu, kalangan pelaku usaha berharap pemerintah tetap memberikan insentif fiskal pada 2023 sebagai kompensasi atas pengetatan kebijakan moneter. Hal itu juga perlu dilakukan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan 5,3%.

Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menjelaskan, ruang fiskal yang ketat memang akan membantu pemerintah mewujudkan konsolidasi, yakni menjaga defisit anggaran di bawah 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2023.

Pun dengan normalisasi pengetatan moneter melalui instrumen suku bunga acuan, diyakini mampu meredam kenaikan inflasi yang terus meroket akibat penaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Akan tetapi, hal itu berisiko menghambat laju ekonomi. Menurutnya, kenaikan suku bunga acuan akan membatasi konsumsi yang selama ini menjadi kontributor utama ekonomi nasional.

Sementara itu, pembatasan insentif fiskal berisiko menghambat ekspansi bisnis hingga output manufaktur, sehingga ekonomi tahun depan dihadapkan pada dua tekanan, yakni dari sisi penawaran maupun permintaan.

“Akan ada risiko penghambatan pertumbuhan ekonomi. Seharusnya pemerintah lebih fokus dengan pemberian insentif,” kata Ajib kepada Bisnis, Minggu (25/9).

Menurutnya, dunia usaha memahami kondisi fiskal yang dituntut untuk melakukan konsolidasi pada tahun depan. Namun, dia menilai pebisnis masih membutuhkan insentif dalam rangka menekan biaya produksi.

Adapun, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W. Kamdani menuturkan, pemerintah harus hati-hati melakukan penghapusan atau pengurangan insentif, mengingat konsumsi masyarakat baru pulih.

Menurutnya, prioritas utama pelaku usaha adalah menjaga momentum pemulihan ekonomi, terlebih di tengah ketidakstabilan harga komoditas dan imbas dari kenaikan harga BBM per 3 September 2022.

PENGHAPUSAN PEN

Cekaknya insentif pada tahun depan tecermin dari penghapusan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang disediakan pemerintah dalam 3 tahun terakhir.

Adapun, jenis insentif yang selama ini mampu meringankan beban dunia antara lain fasilitas Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan kepabeanan.

Obral insentif sejak 2022—2022 pun terbukti mampu memulihkan ekonomi dengan cepat, yang ditandai dengan realisasi pertumbuhan 5,01% pada kuartal I/2022 dan 5,44% pada kuartal II/2022.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporan berjudul Tax Policy Reforms 2022 pun mencatat, insentif pajak efektif menahan gejolak ekonomi.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor, menjelaskan kebijakan perpajakan pada 2023 diarahkan untuk optimalisasi pendapatan yang mendukung transformasi ekonomi dan upaya pemulihan pascapandemi Covid-19.

Dia menambahkan, salah satu kebijakan umum perpajakan pada 2023 adalah memberikan insentif fiskal pada kegiatan ekonomi strategis yang mempunyai multiplier effect kuat.

“Hal ini mengisyaratkan bahwa nantinya insentif perpajakan akan diberikan secara lebih terarah dan terukur,” kata Neil.

Tak hanya dari sisi fiskal, stimulus industri keuangan pun bakal dipangkas yang ditandai dengan rencana Otritas Jasa Keuangan (OJK) untuk tidak memperpanjang relaksasi kredit bagi perusahaan pembiayaan.

Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 2B OJK Bambang W. Budiawan, mengatakan rencana itu mengacu pada beberapa faktor. Pertama, membaiknya ekonomi sepanjang tahun ini.

Kedua, turunnya nilai piutang restrukturisasi dari Rp46,1 triliun dan 2,68 juta kontrak pembiayaan pada 2021 menjadi Rp22,1 triliun dari 650.000 kontrak pembiayaan per 13 September 2022.

Dia menambahkan, perpanjangan restrukturisasi juga memiliki dampak negatif, salah satunya kemunculan moral hazard dari para debitur.

Namun, OJK masih mempertimbangkan keputusan perpanjangan restrukturisasi di industri perbankan, serta dampak kebijakan tersebut bagi perusahaan pembiayaan.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal, mengatakan penarikan insentif untuk pemulihan dunia usaha perlu dilakukan secara selektif dan bertahap, mengingat belum seluruh sektor berhasil pulih. (Maria Elena/Azis Rahardyan/Rika Anggraeni/Indra Gunawan)


Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024