Harian Bisnis Indonesia     16 Feb 2022

Menebak Nasib Komitmen Investasi

Nasib komitmen investasi dari pemodal yang mendapatkan insentif tax holiday dengan nilai sekitar Rp1.000 triliun tak jelas. Musababnya, hingga kini pemerintah belum memberikan kepastian mengenai masa depan stimulus pajak yang ditujukan untuk menggairahkan minat investor tersebut.

Berdasarkan data Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, tax holiday telah dimanfaatkan oleh 85 penanaman modal dengan rencana investasi mencapai Rp1.261,2 triliun sepanjang 2018 hingga 11 Oktober 2020.

Adapun Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, investor penerima insentif pajak mencapai 100 lebih perusahaan dengan nilai investasi di kisaran Rp900 triliun.

Celakanya, realisasi dari komitmen investasi itu masih sangat terbatas, yakni hanya Rp27,15 triliun menurut BKF yang mengolah data hingga Oktober 2020.

Persoalannya, pemerintah disudutkan oleh konsensus global mengenai Pilar 2: Global Anti Base Erosion yang difasilitasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), pengujung tahun lalu.

Secara konkret, Pilar 2 mewajibkan 136 negara anggota OECD untuk menerapkan global minimum tax atau Pajak Penghasilan (PPh) minimum sebesar 15% pada 2023. Otomatis, Pilar 2 mengharuskan pemerintah untuk menghapus tax holiday.

Masalah kian pelik apabila hingga batas waktu implementasi Pilar 2 investor penerima tax holiday masih belum merealisasikan investasinya di Tanah Air.

Sementara itu, pemerintah sejauh ini masih belum memiliki keputusan, apakah tax holiday tetap diberikan kendati hingga penerapan Pilar 2 investor belum merealisasikan investasinya, atau stimulus tersebut dibatalkan.

“Soal masa depan tax holiday [termasuk penerima insentif yang belum merealisasikan komitmennya hingga pelaksanaan Pilar 2], masih dalam tahap evaluasi,” kata Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal kepada Bisnis, Selasa (15/2).

Dapat dimaklumi, keraguan pemerintah untuk menentukan langkah cepat mengenai tax holiday memang cukup besar. Pasalnya, pemangku kebijakan kadung mengantongi komitmen investasi ribuan triliun dari fasilitas tersebut.

Sebenarnya, Indonesia masih bisa memanfaatkan klausul carve-out sebesar 5% di dalam Pilar 2, yang membuka ruang bagi negara berkembang untuk tetap memberikan stimulus pajak sebagai sarana menarik investasi.

Akan tetapi, klausul ini memiliki dampak yang tak bisa dibilang ringan. Sebab dengan tetap menerapkan pajak di bawah global minimum tax sebesar 15%, Indonesia kehilangan potensi penerimaan.

Pudarnya potensi penerimaan itu disebabkan oleh ketentuan yang memberikan kewenangan kepada negara domisili atau negara asal korporasi alias investor untuk memungut pajak, jika negara pasar menetapkan tarif di bawah 15%.

Singkat kata, fasilitas ini justru memberikan tambahan penerimaan bagi yurisdiksi domisili perusahaan induk.

Kendati masih diliputi kegamangan, Yon menegaskan bahwa dari aspek hukum pemerintah sepenuhnya siap untuk mengadopsi Pilar 2 di dalam negeri seiring dengan tersedianya regulasi yang mengakomodasi substansi itu, yakni Pasal 32A UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Pasal tersebut menuliskan bahwa pemerintah berwenang membentuk dan/atau melaksanakan perjanjian dan/atau kesepakatan di bidang perpajakan dengan pemerintah negara mitra dengan berbagai tujuan.

Pertama, menangkal penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak, kedua, pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba, ketiga, pertukaran informasi perpajakan, keempat, bantuan penagihan pajak, serta kelima, kerja sama perpajakan lainnya.

Akan tetapi, dalam kaitan ini Yon mengatakan bahwa ketentuan Pilar 2 akan termuat di dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan (PPh).

“Secara detail, implementasi lanjutannya [mengenai Pilar 2 dan masa depan tax holiday] ada di RPP PPh,” jelas Yon.

Sesungguhnya, pemerintah tidak memiliki banyak waktu untuk mengadopsi Pilar 2 ke dalam regulasi domestik. Terlebih OECD telah meminta kepada seluruh yurisdiksi untuk segera mengakomodasi substansi itu pada tahun ini.

PETUNJUK TEKNIS

Direktur Pusat Kebijakan Pajak dan Administrasi OECD Pascal Saint-Amans menjelaskan, organisasinya telah menerbitkan model dan petunjuk mengenai pelaksanaan Pilar 2 tersebut yang perlu segera direspons oleh negara anggota.

Petunjuk itu mencakup penetapan perusahaan multinasional ke dalam konsep pajak minimum, mekanisme untuk menghitung tarif pajak efektif berdasarkan kebijakan masing-masing yurisdiksi, serta menentukan jumlah pajak yang harus dibayar.

“Ini akan membantu negaranegara untuk membawa aturan Global Anti Base Erosion ke dalam undang-undang [UU] domestik pada 2022,” kata dia

Amants menambahkan, aturan model Pilar 2 itu juga membahas mengenai perlakuan pajak atas merger dan akuisisi perusahaan multinasional, termasuk soal penanganan struktur kepemilikan tertentu di dalam sebuah korporasi multinasional.

Dia menjelaskan, disusunnya ketentuan teknis dan desakan untuk segera mengadopsi di dalam regulasi lokal patut segera dieksekusi dalam rangka merespons konsensus yang telah disepakati pada Oktober tahun lalu itu.

“Fakta bahwa keberhasilan mencapai konsensus tentang aturan teknis dan komprehensif ini menunjukkan komitmen komunitas global terhadap solusi untuk mengatasi tantangan ekonomi digital dan global,” ujarnya.

Pilar yang dikenal sebagai Global Anti Base-Erosion ini dikonsep untuk mengembangkan kebijakan pajak multilateral sebagai jalan pembuka restrukturisasi sistem pajak internasional.

Sejalan dengan skema ini, otomatis perusahaan jumbo yang melakukan perencanaan pajak secara agresif atau aggressive tax planning melalui penempatan kantor pusat di negara suaka pajak, tidak dapat mengelak dari kewajiban perpajakannya.

Selain memberikan ambang batas minimum 15% tersebut, perusahaan–perusahaan yang menghasilkan lebih dari 10% keuntungan dari penjualan produk atau layanan di negara lain harus membayarkan pajak kepada negara tempat beroperasi dan juga negara asal.

Aggressive tax planning di sebagian negara memang cukup legal. Akan tetapi, perencanaan pajak ini menciderai semangat komunitas global untuk mewujudkan keadilan perlakuan pajak internasional.

Kini, pemerintah dihadapkan pada dua pilihan sulit, antara menghapus tax holiday sesuai konsensus global dan mengamankan penerimaan pajak dari operasional bisnis di dalam negeri, atau mengadopsi carve-out sehingga Indonesia tetap memiliki magnet investasi. 


Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024