Harian Bisnis Indonesia     15 Oct 2021

Pajak Karbon Picu Pungutan Ganda

Bisnis, JAKARTA - Skema pajak karbon yang tertuang di dalam Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan berpotensi menimbulkan pungutan berganda pada masa mendatang, karena karakteristik emisi karbon yang juga termasuk ke dalam barang kena cukai.

Saat ini, emisi karbon termasuk ke dalam barang kena pajak. Namun demikian, ada kesamaan objek dari pajak karbon dengan karakteristik objek cukai.

Terlebih, sebelum penyusunan Undang-Undang tentang Harmo-nisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah telah menyusun peta jalan atau roadmap mengenai cukai emisi karbon.

Bisnis mencatat, pada tahun lalu Ditjen Bea Cukai mengumumkan bahwa pengenaan cukai atas emisi karbon telah melalui pembahasan secara intensif dengan membentuk tim teknis antarkementerian.

Ada dua skema yang disampaikan oleh otoritas kepabeanan dan cukai untuk menjadikan emisi karbon sebagai barang kena cu-kai baru.

Pertama, penggunaan benchmarkyang berlaku di banyak negara di dunia yakni cukai emisi dikenakan terhadap pembelian kendaraan bermotor.

Kedua, pengunaan skema yang diimplementasikan oleh beberapa negara di Eropa, salah satunya Inggris, yakni dengan mengenakan cukai atas emisi kendaraan bermotor secara periodik, misalnya setahun sekali.

Pemerhati Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan kesamaan karaktetistik itulah yang kemudian memunculkan celah bagi pemerintah untuk memungut cukai dari emisi karbon pada masa mendatang.


"Pemerintah yang selanjutnya bisa saja mengenakan cukai atas emisi karbon karena sudah ada basis legalnya. Oleh karena itu, ini menjadi potensi pengenaan pajak berganda di kemudian hari," kata dia, Kamis (14/10).

Sementara itu, terkait dengan dasar dialihkannya karbon dari barang kena cukai menjadi barang kena pajak sejauh ini masih belum terjawab.

Sejumlah pejabat di Kementerian Keuangan juga tidak memberikan penjelasan konkret terkait dengan hal ini.

Sumber Bisnis di internal otoritas fiskal mengatakan, pemindahan emisi karbon dari barang kena cukai dilakukan menjelang pembahasan Rancangan UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), versi awal dari UU HPP.

Perihal perubahan status ini juga disorot oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat membahas UU HPP tersebut.

Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo mengatakan bahwa penetapan emisi karbon sebagai barang kena pajak kurang sesuai dengan esensi perpajakan di Indonesia.

Menurutnya, dengan mempertimbangkan faktor lingkungan, kesehatan, dan misi pengendalian maka lebih tepat karbon dijadikan sebagai barang kena cukai.

"Pajak karbon harusnya masuk dalam kategori cukai, karena ini akan mengatur sisi eksternalnya. Konsepnya kan cukai, yaitu bagaimana pengendalian terhadap konsumsinya," kata dia.

Sementara itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian keuangan Neilmaldrin Noor tidak bersedia memberikan jawaban terkait dengan adanya potensi pungutan berganda terhadap emisi karbon.

Dia hanya mengatakan bahwa pemerintah menyusun peta jalan pentahapan pengenaan pajak atas emisi karbon dengan menyasar berbagai sektor.

"Untuk tahap pertama pajak karbon diterapkan terhadap PLTU batu bara. Perluasan nanti disesuaikan dengan roadmap yang akan disusun bersama kementerian/lembaga dan DPR," jelasnya kepada Bisnis.

Selain adanya kesamaan objek, indikasi pungutan berganda yang berasal dari emisi karbon juga didukung oleh terbatasnya potensi penerimaan pajak yang dikantongi pemerintah.

Musababnya, pungutan yang dikumpulkan dari emisi karbon akan diprioritaskan untuk penanganan perubahan iklim.

LEBIH RENDAH

Adapun tarif pajak karbon ditetapkan sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e), jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang diusulkan oleh pemerintah yakni sebesar Rp75 per kilogram CO2e.

Pajak karbon memang diwujudkan sejalan dengan komitmen Indonesia di dalam komunitas global untuk menangani peru-bahan iklim.

Akan tetapi, secara konsep pengenaan pajak dari emisi karbon seharusnya tetap mempertimbangkan faktor penerimaan negara.

Jika pajak karbon hanya dialokasikan untuk penanganan perubahan iklim, maka instrumen ini tidak akan meleluasakan ruang gerak pemerintah dari sisi fiskal. (Bisnis, 14/10).

Sebelumnya, pajak karbon akan mulai diimplementasikan pada 1 April 2022 pada sektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru bara dengan skema yang mengacu pada batas emisi atau cap and tax.

Artinya, tarif Rp30,00 per kilogram CO2e diterapkan pada jumlah emisi yang melebihi capyang ditetapkan.

Pengenaan pada sektor PLTU batu bara diterapkan pada tahap awal karena sejalan dengan pengembangan pasar karbon yang sudah mulai berjalan di sektor tersebut.

Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024