Harian Bisnis Indonesia     19 Aug 2021

Sinyal Insentif Fiskaltax Terserap Maksimal

Bisnis, JAKARTA — Gelontoran insentif yang disediakan oleh pemerintah pada tahun lalu disinyalir tidak terserap secara maksimal. Hal itu terefleksi di dalam data estimasi belanja perpajakan atau tax expenditure pada 2020 yang lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya. 

Berdasarkan Nota Keuangan Beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022, estimasi belanja perpajakan pada 2020 adalah Rp234,9 trilun atau 1,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Jumlah tersebut menjadi yang terendah dalam 3 tahun terakhir atau sejak 2018.Faktanya, pada tahun lalu otoritas fiskal cukup banyak mengumbar insentif atau stimulus pajak.

Sekadar informasi, pada 2019 di mana kucuran insentif tidak sederas tahun lalu, total belanja perpajakan tercatat mencapai Rp272,1 triliun.

Secara terperinci, mayoritas jenis pajak mencatatkan penurunan, baik itu Pajak Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).

Tercatat hanya bea masuk dan cukai yang mencatatkan kenaikan, yakni dari Rp11,3 triliun pada 2019 menjadi Rp13,8 triliun pada tahun lalu. 

Turunnya belanja perpajakan ini kontras dengan segudang insentif yang disediakan oleh pemerintah untuk meringankan beban wajib pajak dalam menghadapi resesi ekonomi pada tahun lalu.

Insentif itu di antaranya PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, angsuran PPh Pasal 25, hingga Restitusi PPN. Belum lagi insentif reguler yang disediakan pemerintah seperti tax holiday dan tax allowance.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor tidak menjawab pertanyaan yang disampaikan Bisnis terkait dengan turunnya belanja perpajakan pada tahun lalu.

Dia juga tidak merespons pertanyaan Bisnis, apakah kondisi ini disebabkan karena rendahnya serapan insentif pajak yang disediakan oleh pemerintah pada tahun pertama pandemi Covid-19 berlangsung.

Adapun Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengatakan turunnya belanja perpajakan pada 2020 sejalan dengan merosotnya output ekonomi nasional.

Prastowo menambahkan, selain itu penurunan tax expenditure juga bisa disebabkan oleh komponen belanja berupa insentif khusus yang masuk ke dalam kategori pengecualian.

“Kemungkinan ada pada komponen tax expenditure yang noninsentif khusus pada tahun lalu, misalnya pengecualian atau fasilitas lain,” kata dia kepada Bisnis, Rabu (18/8).

Bisnis mencatat, pada Juni lalu Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengestimasi belanja perpajakan 2020 berada di kisaran sekitar 1,5%—1,6% terhadap PDB.

Dia juga menjelaskan, belanja perpajakan adalah insentif yang bersifat permanen dan setiap tahunnya biasanya mencatatkan kenaikan.

Dari sisi tujuan belanja perpajakan selama ini biasanya dibagi menjadi empat kelompok besar yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), meningkatkan iklim investasi, dan mendukung dunia bisnis.

“Kita akan terus memantau dan estimasi kami sejauh ini belanja perpajakan 2020 itu relatif kurang lebih di sekitar 1,5%—1,6% dari PDB,” ujar Febrio pada Juni lalu.

Sementara itu, pada 2020 sektor yang paling banyak menerima fasilitas perpajakan adalah industri pengolahan, disusul dengan jasa keuangan, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan.

Nilai belanja perpajakan untuk sektor industri pengolahan yang tinggi bukan hanya berasal dari insentif yang ditujukan kepada industri besar, juga kepada industri UMKM dan pengolahan kebutuhan pokok.

BELANJA TERBESAR

Apabila dikelompokkan berdasarkan jenis pajak, belanja perpajakan yang terbesar untuk adalah PPN dan PPnBM, yang mencapai 59,8% dari total estimasi belanja perpajakan pada tahun lalu.

“Belanja perpajakan terbesar adalah untuk jenis pajak PPN dan PPnBM,” tulis pemerintah dalam Nota Keuangan Beserta RAPBN 2022.

Jumlah terbesar belanja perpajakan untuk PPN dan PPnBM berasal dari pengecualian kewajiban pengusaha kecil untuk menjadi pengusaha kena pajak yang memungut PPN.

Selain itu juga pengecualian pengenaan PPN atas barang dan jasa tertentu yang merupakan kebutuhan dasar masyarakat, seperti bahan kebutuhan pokok, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan.

Menanggapi hal ini, Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan setiap tahun komponen PPN dan PPnBM memang menjadi penyerap belanja perpajakan terbesar.

Dia menjelaskan, di antara kedua jenis pajak itu serapan paling tinggi terjadi pada barang dan jasa yang bukan termasuk ke dalam objek PPN.

“Dari pos belanja perpajakan PPN dan PPnBM tersebut, yang paling besar adalah pos belanja perpajakan barang/jasa yang bukan objek PPN,” kata dia.

Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024