Harian Bisnis Indonesia     21 Oct 2020

Rehabilitasi Ekonomi Kian Tak Pasti

Tren kontraksi penerimaan pajak yang makin dalam menunjukkan bahwa akselerasi pemulihan ekonomi yang digaungkan pemerintah belum berjalan sesuai ekspektasi. Dengan tren penerimaan yang terus menurun, ada kekhawatiran realisasi APBN 2020 melebar dari outlook.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan, penerimaan pajak per September 2020 terkontraksi hingga nyaris mendekati angka 17%. Jika dibandingkan dengan data bulanan selama 2020, kontraksi penerimaan pada September merupakan yang paling dalam sejak awal tahun.

Padahal asumsi semula, jika pemulihan ekonomi pada kuartal III/2020 maupun kuartal IV/2020 bisa bergerak di level positif, pertumbuhan penerimaan pajak bisa berada di level -10%.

Dengan demikian, kesehatan fiskal bisa pulih meski masih cukup tertatih. Namun, dengan proyeksi terbaru yang menurut pemerintah ekonomi sepanjang 2020 hanya bergerak di angka -1,7% hingga -0,6%, dalam catatan Bisnis, pertumbuhan penerimaan pajak berada di angka -12% sampai dengan -14%.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut bahwa kedalaman kontraksi penerimaan pajak per September lalu merupakan imbas dari penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

“Ini dikarenakan oleh PSBB yang diperketat selama minggu ketiga dan keempat September,” kata Menkeu, Senin (19/10). Di sisi lain, pemberian insentif kepada pelaku usaha juga menjadi salah satu indikator rontoknya kinerja penerimaan pajak.

Sampai dengan 14 Oktober, insentif fiskal yang diberikan kepada pelaku usaha telah terserap sebesar Rp29,68 triliun. Angka ini sebenarnya masih di luar harapan pemerintah yang mengalokasikan insentif usaha senilai Rp120,6 triliun.

Artinya, jika realisasi insentif usaha tersebut ditambahkan ke realisasi penerimaan pajak per September yang berada di angka Rp750,6 triliun, kontraksi penerimaan pajak sampai bulan lalu hanya di kisaran 13,9%.

Dalam catatan Bisnis, outlook penerimaan pajak pada tahun ini akan terkontraksi di angka -12% sampai dengan -14%. Itu pun dengan catatan kuartal IV/2020 ada perbaikan ekonomi.

Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi pemerintah yang berada di kisaran -10% Artinya, jika skenario -10% yang terjadi dan dengan asumsi belanja serta komponen penerimaan di luar pajak sesuai ekpektasi pemerintah, maka defisit anggaran pada tahun ini tetap di kisaran 6,34% dari produk domestik bruto (PDB).

Sebaliknya, jika penerimaan pajak di angka -14% atau Rp1.146,1 triliun, sementara pagu belanja tetap sama di angka Rp2.739,2 triliun dan komponen penerimaan seperti PNBP (penerimaan negara bukan pajak) serta bea cukai tetap, defisit pembiayaan APBN 2020 bisa melebar di angka Rp1.093,3 triliun atau 7,2% dari PDB Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menjelaskan, kontraksi penerimaan pajak disebabkan oleh dua hal. Pertama pengetatan PSBB yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta, dan kedua kucuran insentif fiskal.

“Untuk insentif, sudah terlihat memengaruhi kinerja penerimaan pajak penghasilan [PPh] Badan,” kata dia kepada Bisnis, Selasa (20/10).

Dia meyakini, strategi fiskal yang diterapkan oleh pemerintah seperti pisau bermata dua. Di satu sisi bisa berdampak pada perbaikan ekonomi dan kinerja pajak.

Untuk insentif, sudah terlihat memengaruhi kinerja penerimaan pajak penghasilan [PPh] Badan


Pertimbangannya adalah tren perbaikan penerimaan pajak pada akhir tahun. Tren ini menurutnya bisa berlanjut seiring dengan adanya pelonggaran PSBB, terutama di DKI Jakarta.

INSENTIF FISKAL


Akan tetapi di sisi lain, ada potensi meningkatnya pemanfaatan insentif fiskal oleh wajib pajak. Kondisi ini harus diakui sangat berpengaruh terhadap prospek penerimaan pajak.

“Apakah bisa lebih buruk? Tentu saja, faktor PSBB memang yang sulit untuk diprediksi. Kalau PSBB diperketat lagi, bahkan lebih lama, bisa saja kinerjannya menjadi lebih buruk,” ujarnya.

Pengamat pajak DDTC Bawono Kristiaji menambahkan, risiko melebarnya selisih antara realisasi penerimaan pajak dengan outlook yang tertuang pada Perpres No. 72/2020 sebesar Rp1.198 triliun sangat mungkin terjadi. Faktor tekanan ekonomi menurutnya sudah pasti menjadi tantangan terbesar.

Selain itu, pemerintah juga menghadapi konsekuensi dari banjirnya stimulus fiskal yang digelontorkan hampir sepanjang tahun ini. “Per Juli lalu, kami memproyeksikan realisasi tahun ini di angka Rp1.145 triliun,” kata Bawono.

Namun demikian, seiring dengan dinamika ekonomi yang masih belum pulih, shortfall tersebut menurutnya masih bisa kembali melebar. Apalagi, prospek pemulihan ekonomi bakal lebih lama. Hal itu tecermin dari risiko resesi yang hampir pasti terjadi pada kuartal III/2020.

Selain itu, sejumlah indikator belum menunjukkan adanya perbaikan pada 3 bulan terakhir tahun ini. Konsumsi yang digadang menjadi penopang pun masih cukup rentan. Investasi yang konon bisa menjadi penyelamat juga masih cukup tertahan. Memang tak mudah bagi pemerintah mengelola fiskal di tengah tingginya ketidakpastian akibat pandemi Covid-19.

Pembengkakan defisit APBN tentu akan berpengaruh ke pengelolaan fiskal tahun ini maupun tahun-tahun berikutnya. Jika hal ini terjadi, proses recovery fiskal dan proses pemulihan ekonomi akan terkendala.

Tax News

Search




Exchange Rates

Mata Uang Nilai (Rp.)
EUR 17068.99
USD 15710
GBP 19949.11
AUD 10293.61
SGD 11699.88
* Rupiah

Berlaku : 27 Mar 2024 - 2 Apr 2024